Thursday, October 4, 2018

KONFLIK-KONFLIK ANTARA BARAT DAN TIMUR


Ketika Amerika Serikat dan negara-negara Barat bersama-sama menyerang Irak karena Irak dianggap bersalah menyerang Kuwait beberapa tahun yang lalu, teringat akan hal serupa beberapa abad yang silam, ketika mereka (negara-negara Eropa Barat) bersekutu menyerang negara-negara Islam di Timur dalam suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah dengan “perang Salib”. Serangan mereka bertujuan bukan saja dalam rangka mengambil alih Palestina, yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis, tempat suci orang- orang Kristen, tetapi jugi berusaha menghancurkan peradaban Islam yang dengan susah payah dibina dan dikembangkan oleh ummat Muhammad ini dengan penuh kesungguhan, suatu peradaban dinamis sebagai kesinambungan dari peradaban-peradaban sebelumnya, yaitu peradaban Yunani, Persia, India, Mesir dan Mesopotamia.

Konflik

Faktor ekonomi merupakan bagian dari motif serangan-serangan mereka ke Irak, yaitu melindungi sumber-sumber minyak yang terdapat di sebagian negara-negara Timur Tengah yang kaya itu, di mana Amerika dan negara-negara Eropa memiliki saham besar bagi penanaman modal. Tetapi ada motif ying lebih mendasar dan merupakan kesinambungan sejarah yaitu kekhawatiran akan bangkitya kembali kekuatan Islam sehingga akan mengancam eksistensi Barat yang Kristen, sebagai yang pernah mereka alami ketika Spanyol dan Perancis Selatan jatuh ke tangan ummat Islam pada abad-abad perte-ngahan. Tetapi fanatisme agama ini sengaja dibungkus dengan rapih agar tidak menimbulkan suatu gerakan solidaritas di kalangan ummat Islam di seluruh dunia. Motif ekonomi dan stabilitas wilayah menempati kedudukan penting sebagai dasar bagi serangan-serangan Barat ke negara-regara Dunia Ketiga, yang nota bene adalah negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini akan memberikan dampak yang lebih jauh dalam percaturan politik dunia, di mana pada akhirnya bukan hanya negara-negara Barat yang turut serta “berpartisipasi” dalam mempertahankan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetapi juga negara-negara Islam dengan tidak sadar menjadi agen-agen Barat di Timur.

II
Pada umumnya para sejarawan Barat menduga bahwa Masalah Timur adalah masalah politis, mereka berasumsi bahwa Masalah Timur tidak lain hanya berupa sengketa perbatasan, ekonomi dan tidak ada kaitan dengan masalah keagamaan.
Tetapi menurut para sejarawan muslim, Masalah Timur adalah masalah keagamaan karena mempunyai kesamaan dengan tindakan mereka dahulu semasa Perang Salib (Ahmad Syalabi, 1988:59), hanya saja orang-orang Kristen dalam penyerangan- penyerangannya ke negara-negara Islam menggunakan istilah baru dengan maksud agar orang Islam tidak bangkit bersatu melawan mereka. Ketika negara-negara Barat berusaha keras menghancurkan kekuatan Turki Utsmani pada abad-abad yang lalu mereka menamakannya dengan Masalah Timur. Ahmad Syalabi dengan me-ngutip pernyataan Al Ustadz Muhammad Farid, sejarawan Daulat Utsmaniyah, menggambarkan peristiwa pertempuran laut di Liponto sebagai berikut: Keterlibatan Paus dalam Perang Liponto adalah bukti nyata bahwa motor penggerak utama perang melawan Turki Utsmani adalah agama, sebagaimana kejadian-kejadian dan peperangan-peperangan selanjutnya telah memperkuat alasan di atas dan bukan faktor politis sebagaimana anggapan kebanyakan sejarawan Barat. Kemenangan pasukan Eropa telah disambut dengan gembira oleh seluruh orang-orang Kristen sehingga pada waktu itu Paus juga sengaja berkhotbah di Gereja Katholik Roma (Gereja Maria Petrus) menyampaikan ucapan terima kasih kepada Don Juan, panglima perang tentara Kristen Eropa, yang telah berhasil menghancurkan kapal perang Islam. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa masalah Timur adalah masalah keagamaan bukan masalah politis sebagaimana dugaan bangsa-bangsa Barat. (Ahmad Syalabi, 1988: 60).
pengertian Masalah Timur di kalangan orang-orang Eropa mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada abad XV dan paroh awal abad XVI wilayah Imperium Turki Utsmani meliputi wilayah yang begitu luas mencakup sebagian besar wilayah Eropa Tenggara, wilayah Byzantium termasuk Konstantinopel,kerajaan-kerajaan Serbia, Bulgaria di Balkan, begitu juga Aflak dan Bagdan (Armenia) dan Kirman sekarang. Dengan demikian maka Laut Hitam menjadi wilayah kekuasaan Turki Utsmani sebagaimana Hongaria dan pada waktu itu kota Wina pun terancam, berulang kali mendatat serangan tentara Utsmani. Ekspansi Utsmani ini telah menimbulkan kekhawatiran teramat sangat bagi negara-negara Eropa oleh kareranya segera merekapun mengadakan persekutuan dan menyusun tentara gabungan, untuk membendung ekspansi tersebut. Gerakan Turki Utsmani ini mereka sebut dengan nama “Masalah Timur”. Denqan demikian maka tindakan mereka itu persis seperti ketika mereka mempersiapkan diri untuk melakukan Perang Salib.
Kemudian ketika terjadi kemunduran dalam tubuh Daulat Turki Utsmani oleh karena beberapa faktor di antaranya timbulnya kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan Inkisyariyah, mengabaikan kesejahtraan ummat, pertempuran dengan Persia, pemberon- takan-pemberontakan yang timbul dari dalam negara Arab yang dipimpin oleh tokoh masyarakat Arab dan ahli fikir, lahirnya Austria dan Rusia sebagai negara, lalu bangkit menetang Turki Utsmani serta lahirnya Inggris dan Perancis sebagai negara telah menjadi saingan Turki Utsmani pada abad XVIII dan abad XIX. Maka Masalah Timur pada paruh kedua abad ini telah beralih menjadi masalah politis.
Bila Masalah Timur dengan pengertian yang pertama telah mendorong bangsa-bangsa Eropa untuk bersama-sama menghadapi gelombang kekuatan Timur (Turki Utsmani), maka Masalah Timur dengan pengertian yang kedua telah menimbulkan perselisihan diantara negara Eropa itu serdiri, karena satu sama lain di antara mereka berharap ingin mendapatkan wilayah rampasan sesuai dengan kepentingan dan strategi politik masing-masing.

III
Konflik antara Timur dan Barat ini memiliki akar yang kuat dalam sejarah. Perang Salib yang berlangsung selama kurang lebih dua abad, bermula dari kedangkalan pemahaman keagamaan dari para penguasa Turki (Bani Saljuk). Dinasti ini berhasil menguasai Baitul Maqdis pada tahun 471 H. Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan bagi ummat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka (Hasan Ibrahim Hasan, 1967: 243-244). Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada ummat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Salib,yang terjadi dalam tiga periode.Periode pertama terjadi pada musim semi tahun 1095 M., 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M. menguasai Raha (Edessa).Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya Godfrey. Setelah menaklukkan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, rajanya adalah Raymond (Badri Yatim, 1994:77).
Imaduddin Zanki, penguasa Mousul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Engenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis, Louis VII, dan raja Jerman, Condrad II. Keduanya memimpin pasukan salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya (Abd. al-Rahman Tajuddin, 1953:148). Nuruddin wafat tahun 1174 M. pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalah aldin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Ia berhasil merebut Yarussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Merekapun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Prancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalah al-Din, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember ll92 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalah al-Din yang disebut Shulh al- Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu (Badri Yatim, l994:78).
Karena tentara salib tidak berhasil memasuki Palestina, hal ini membuat orang-orang Kristen di Eropa untuk menyusun kembali pasukan salib periode ketiga yang dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan mendapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum mulimin tahun 1247 M, dimasa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir
selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik — yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyah — pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M.
Walaupun ummat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian- kerugian ini menyebabkan kekuatan politik ummat Islam menjadi lemah. Sementara Dunia Eropa, mereka mendapat pengalaman yang sangat berharga, terutama mereka mengetahui bahwa Dunia Timur (Islam) telah memiliki kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Pengalaman inilah yang di kemudian hari dimanfaatkan oleh mereka dengan sebaik-baiknya sehingga akhirnya mereka berhasil merombak alam pikiran mereka.

IV
Kegagalan-kegagalan yang dialami oleh tentara salib untuk merebut Palestina, khususnya dan wilayah-wilayah Islam lainnya, menyebabkan mereka mengkonsolidasikan diri untuk mengusir orang- orang Islam dari daratan Spanyol (Eropa), dan mempelajari rahasia kemajuan yang dicapai oleh ummat Islam. Mereka mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang telah dicapai oleh ummat Islam melalui terjemahan-terjemahan, dan mengirim para pemudanya untuk belajar di universitas-universitas Islam baik yang ada di Spanyol maupun di Timur Tengah. Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha menaklukan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan. Setelah Christoper Colombus menemukan Benua Amerika (1492 M) dan Vasco da Gama menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan (1498 M), Benua Amerika dan Kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua penemuan itu sungguh tak terkirakan nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai ummat Islam. Dengan sekejap dinding laut itu berubah menjadi jalan raya, dan Eropa yang semula terpojok segera menjadi yang dipertuan di laut dan dengan demikian yang dipertuan di dunia. Terjadilah perputaran nasib yang maha hebat dalam sejarah seluruh ummat manusia.
Perekonomian bangsa-bangsa Eropa pun semakin maju karena daerah- daerah baru terbuka baginya. Mereka memperoleh kekayaan yang terhingga untuk meningkatkan kesejahteraan negerinya. Tidak lama setelah itu, mulailah kemajuan Barat melampaui kemajuan Islam yang sejak lama mengalami kemunduran. Kemajuan Barat itu dipercepat dengan adanya penemuan-penemuan dan perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Penemuan mesin uap yang kemudian melahirkan revolusi industri di Eropa semakin memantapkan kemajuan mereka. Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat. Dengan demikian, sebagai yang telah dikemukakan di atas, Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan-lawan mereka. Bahkan, satu demi satu negeri-negeri Islam jatuh ke bawah kekuasaannya sebagai negeri jajahan. Mereka mengeksploitasi seluruh potensi dan sumber alam yang ada di negeri-negeri Islam itu, sehingga negeri-negeri itu bukan saja miskin, juga masyarakatnya dilanda oleh krisis ideologi dan ketauhidan.Hilangnya rasa percaya diri ini menyebabkan mereka semikin jatuh ke dasar.
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-negeri muslim adalah ekonomi dan politik. Kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkanya membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat mereka dapat memasarkan hasil industri mereka itu. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi, persoalan agama seringkali terlibat dalam proses politik penjajahan Barat atas negeri-negeri Islam ini. Terutama perang salib agaknya masih membekas pada sebagian orang Barat, terutama Portugis dan Spanyol karena kedua negara ini untuk jangka waktu berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.
Dengan organisasi dan persenjataan modern pasukan perang Eropa mampu melancarkan pukulan telak terhadap daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti Kerajaan Turki Utsmani ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Eropa dan kerajaan Mughal ketika berhadapan dengan lnggris di India. Daerah-daerah kekuasaan Islam lainnya juga berjatuhan ke tangan Eropa, seperti Asia Tengara; bahkan Mesir, salah satu pusat peradaban Islam yang terpenting diduduki Napoleon Bonaparte dari Prancis pada tahun 1798 M (Harun Nasution, 1982 :28-29).
Benturan-benturan antara kerajaan Islam dengan kekuatan Eropa itu menyadarkan ummat Islam bahwa mereka memang sudah jauh tertinggal dari Eropa. Kesadaran itulah yang menyebabkan ummat Islam di masa modern terpaksa harus banyak belajar dari Eropa. Perimbangan kekuatan antara ummat Islam dengan Eropa berubah denqan cepat. Di antara kemajuan Eropa dengan kemunduran Islam terbentang jurang yang sangat lebar dan dalam.
Pada abad XX ini negara-negara Islam mulai memerdekakan diri dari penjajahan barat, setelah sebelumnya berjuang dengan gigih daan banyak memakan korban. Tetapi tampilnya mereka itu kini dengan menggunakan baju baru yaitu baju nasionalisme, suatu ideologi yang mulai berkembang pada paruh terakhir abad kedelapan. Baju “ummat” yang pernah membawa kemajuan dan berjasa terhadap Dunia Islam, kini mereka tinggalkan karena baju itu bukan saja ketinggalan tapi juga dianggap sebagai salah satu penyebab kemunduran mereka selama ini. Sebagai akibatnya, ummat Islam kini terkotak-kotak dalam beberapa negara kecil. Akan mampukah mereka ber-kompetisi dengan Barat yang dulu pernah menjadi muridnya itu? Kita tunggu saja perkembangannya nanti. Wassalam.

0 comments:

Post a Comment